Tali temali perekat pernikahan.

TALI-TEMALI PEREKAT PERNIKAHAN

Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarokatuh

Cinta,mawaddah,rahmah dan amanah Allah,itulah tali temali ruhani perekat perkawinan,sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus,masih ada rahmat,dan  kalau pun ini tidak tersisa,masih  ada amanah,dan selama pasangan itu beragama,amanahnya terpelihara,karena Al-Quran memerintahkan,

    "Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai (mencintai) mereka(jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (dibalik itu) kebaikan yang banyak (QS Al-Nisa' [4]: l9)."

Mawaddah,tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-,yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan.Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.Dia adalah cinta plus.Bukankah yang mencintai,sesekali hatinya kesal  sehingga cintanya pudar bahkan putus.Tetapi yang bersemai  dalam hati mawaddah,tidak lagi akan memutuskan hubungan,seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta.
Ini  disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari
keburukan sehingga pintu pintunya pun telah tertutup untuk
dihinggapi keburukan lahir dan batin(yang mungkin datang dari
pasangannya).Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran Ibrahim  Al-Biqa'i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah.

Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat  menyaksikan ketidakberdayaan  sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya.Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan  bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.

Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan  karena betapapun hebatnya seseorang,ia pasti memiliki kelemahan,dan betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya.Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian,sehingga suami dan istri  harus berusaha untuk saling melengkapi.

    "Istri-istri kamu(para suami adalah pakaian untuk kamu,dan kamu adalah pakaian untuk mereka (QS Al-Baqarah [2]: 187).

Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami istri--orang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan-- harus dapat berfungsi "menutup kekurangan  pasangannya". sebagaimana  pakaian menutup aurat
(kekurangan) pemakainya.

Pernikahan adalah amanah, digaris bawahi oleh Rasul Saw.  dalam sabdanya,

    "Kalian menerima istri berdasar amanah Allah."

Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara
dengan baik,serta keberadaannya aman di  tangan yang  diberi
amanat itu.

Istri adalah amanah di pelukan suami,suami pun amanat di pangkuan istri.tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan  tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami(demikian juga istri)tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.

Kesediasn seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki,meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya, dan"mengganti"semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki "asing" yang menjadi suaminya,serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.

Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil,kecuali jika ia
merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak,dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan
istri  kepada  suaminya  dan  itulah  yang  dinamai   Al-Quran
mitsaqan  ghalizha  (perjanjian  yang amat kokoh) (QS Al-Nisa'
[4): 21).

SUAMI ADALAH PEMIMPIN KELUARGA

Keluarga, atau katakanlah unit terkecil dari  keluarga  adalah
suami  dan  istri,  atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung di
bawah satu rumah tangga. Unit  ini  memerlukan  pimpinan,  dan
dalam pandangan Al-Quran yang wajar memimpin adalah bapak.

    Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan
    (istri) (QS Al-Nisa' [4]: 34).

Ada   dua  alasan  yang  dikemukakan  lanjutan  ayat  di  atas
berkaitan dengan pemilihan ini, yaitu:

a. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas
   sebagian yang lain, dan

b. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk
   menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk
   istri/keluarganya).

Alasan kedua agaknya cukup logis.  Bukankah  di  balik  setiap
kewajiban   ada   hak?   Bukankah   yang  membayar  memperoleh
fasilitas?

Adapun alasan pertama, maka ini berkaitan dengan faktor psikis
lelaki  dan  perempuan.  Sementara  psikolog berpendapat bahwa
perempuan berjalan di bawah bimbingan perasaan, sedang  lelaki
di  bawah  pertimbangan  akal.  Walaupun kita sering mengamati
bahwa  perempuan  bukan  saja  menyamai   lelaki   da1am   hal
kecerdasan,  bahkan  terkadang melebihinya. Keistimewaan utama
wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Keistimewaan
ini amat diperlukan dalam memelihara anak. Sedang keistimewaan
utama  lelaki  adalah  konsistensinya  serta  kecenderungannya
berpikir   secara  praktis.  Keistimewaan  ini  menjadikan  ia
diserahi tugas kepemimpinan rumah tangga.

    Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan
    kewajibannya menurut cara yang makruf akan tetapi para
    suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka
    (para istri)". (QS A1-Baqarah [2]: 228).

Derajat itu adalah kelapangan  dada  suami  terhadap  istrinya
untuk  meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis
Syaikh  Al-Mufasirin   (Guru   besar   para   penafsir)   Imam
Ath-Thabari,  "Walau  ayat  ini  disusun dalam redaksi berita,
tetapi  maksudnya  adalah  anjuran  bagi  para   suami   untuk
memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat
memperoleh derajat itu."

Imam  Al-Ghazali  menulis,  "Ketahuilah  bahwa  yang  dimaksud
dengan   perlakuan   baik   terhadap   istri,  bukanlah  tidak
mengganggunya,  tetapi  bersabar  dalam  kesalahannya,   serta
memperlakukannya   dengan   kelembutan   dan   maaf,  saat  ia
menumpahkan emosi dan kemarahannya."

"Keberhasilan perkawinan tidak  tercapai  kecuali  jika  kedua
belah  pihak  memperhatikan  hak  pihak  lain.  Tentu saja hal
tersebut banyak,  antara  lain  adalah  bahwa  suami  bagaikan
pemerintah,   dan   dalam   kedudukannya   seperti   itu,  dia
berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya
(istrinya).   Istri   pun  berkewajiban  untuk  mendengar  dan
mengikutinya, tetapi di  sisi  lain  perempuan  mempunyai  hak
terhadap  suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan
diskusi."  Demikian  lebih  kurang  tulis  Al-Imam  Fakhruddin
Ar-Razi.

Sekali  lagi, kepemimpinan tersebut adalah keistimewaan tetapi
sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil.

Kalau titik temu dalam musyawarah  tidak  diperoleh,  sehingga
keretakan  hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar
kamar menghubungi orang-tua atau  orang  yang  dituakan  untuk
meminta  nasihatnya,  atau  bahkan  barulah  diharapkan campur
tangan orang bijak untuk menyelesaikannya. Dalam  konteks  ini
Al-Quran berpesan,

    Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
    keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari
    keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari ke1uarga
    perempuan. Jika keduanya (suami istri dan para hakam)
    ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah memberi
    bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya
    Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa'
    [4]: 35).

TUJUAN PERKAWINAN

Sepintas boleh jadi ada yang berkata, apalagi muda mudi, bahwa
"pemenuhan   kebutuhan   seksual   merupakan   tujuan    utama
perkawinan,   dan   dengan  demikian  fungsi  utamanya  adalah
reproduksi".

Benarkah    demikian?    Baiklah    terlebih    dahulu    kita
menggarisbawahi  bahwa  dalam  pandangan  ajaran  Islam,  seks
bukanlah sesuatu yang kotor  atau  najis,  tetapi  bersih  dan
harus  selalu  bersih.  Mengapa  kotor,  atau perlu dihindari,
sedang Allah sendiri  yang  memerintahkannya  secara  tersirat
melalui  law  of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam
surat Al-Baqarah (2): 187,

    Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan
    nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
    maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka
    (istri-istrimu), dan carilah apa yang ditetapkan Allah
    untukmu.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

    Istri-istri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam)
    untukmu, maka datangilah (garaplah) ladang kamu
    bagaimana~ saja kamu kehendaki (QS Al-Baqarah [2]:
    223).

Karena hubungan seks  harus  bersih,  maka  hubungan  tersebut
harus  dimulai  dan  dalam  suasana  suci  bersih; tidak boleh
dilakukan dalam keadaan kotor, atau situasi kekotoran.  Karena
itu,   Rasulullah  Saw.  menganjurkan  agar  berdoa  menjelang
hubungan seks dimulai.

Beberapa ayat Al-Quran sangat menarik untuk direnungkan  dalam
konteks pembicaraan kita ini adalah:

    (Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi
    kamu dan jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dan
    jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula,
    dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan cara itu ...
    Tidak ada sesuatu pun yang serupa denan Dia, dan Dia
    Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura
    [42]: 11).

Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusia pun
demikian, begitu pesan ayat di atas. Tetapi dalam ayat di atas
tidak  disebutkan  kalimat  mawaddah  dan  rahmah, sebagaimana
ditegaskan  ketika  Al-Quran   berbicara   tetang   pernikahan
manusia.

    Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah
    adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan
    agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari
    (pasangan)-nya, dari dijadikannya di antara kamu
    mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu
    benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang
    berpikir (QS Al-Rum [30]: 21).

Mengapa  demikian?  Tidak  lain  karena  manusia  diberi tugas
oleh-Nya untuk membangun peradaban, yaitu manusia diberi tugas
untuk menjadi khalifah di dunia ini.

Cinta  kasih,  mawaddah  dan  rahmah  yang dianugerahkan Allah
kepada sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat
tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya,
tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada manusia.

Demikian sekilas pandangan Al-Quran tentang pernikahan,  tentu
saja  lembaran  kecil  ini tidak menggambarkan secara sempurna
wawasan  Kitab  Suci  itu,  namun  paling   tidak   apa   yang
dikemukakan di atas diharapkan dapat memberikan gambaran umum.


Semoga.

Post a Comment

0 Comments